Tentang Berpindah dan Beradaptasi



“Okay!, kali ini akan lebih berat tapi pasti bisa. Kalau ga bisa ya, mau gimana lagi, harus bisa!”

 

Terus menerus ku katakan kalimat itu, seakan mencuci otakku sendiri. Helaan nafas panjang menjadi pembuka, sekelompok pikiran rumit menghantui, belum ada jalan keluar, belum ada jawaban atas setiap pertanyaanku.

 

Ya, aku salah satu manusia yang tidak menyukai berpindah dari zona nyaman. Jika hidup biasa, pas-pas an, melakukan rutinitas sehari-hari yang sudah tertancap mati dikepala, aku lebih suka itu.

 

“Betapa membosankan!” Begitu kata mereka.

 

Aku suka membuat diriku merasa bosan, membuat diriku terasa membosankan. Tapi kali ini, aku tak bisa mengelak, harus kulakukan apapun yang terjadi.

 

“Keluar dari rutinitas, membuat diriku sedikit hidup diluar kebosanan, mari lakukan itu!”

 

Tepatnya tahun lalu.

Memang tahun lalu menjadi tahun luar biasa bagi banyak orang. Ia dikenal luar biasa, pesonanya seakan membuat setiap insan kehabisan akal. Suram, gelap, sedih, tanpa ampun, menakutkan, sedikit mencekam, penuh kekhawatiran. Semua itu patut dinobatkan untuknya.

 

“Sungguh! tolong kirimkan manusia dari masa depan untuk memberi tahuku kapan musim ini akan berlalu”

 



 

Dalam hidupku, aku telah menantang diriku keluar dari zonaku sebanyak 4 kali.

 

“ Aku menghitungnya”

 

Semua itu membuatku tersadar bahwa, manusia diciptakan dengan kemampuan hebat untuk terus mampu meneruskan kehidupannya, beradaptasi dengan semua hal diluar kebiasaan hidupnya. Terbukti selama 4 kali itu, aku masih disini baik-baik saja, berhasil melewati setiapnya dengan adaptasi, meski selama prosesnya banyak keraguan dan kegagalan.

 

Dan akhir-akhir ini rasanya terus kita ditutut untuk terus mampu beradaptasi, tak hentinya, bahkan tiap hari perubahan terus datang

 

Namun karena tak ingin tertinggal, aku harus terus mengikuti perubahan yang ada, buruk baiknya, suka tidaknya, nyaman tak nyamannya, sesuaikan dengan kebutuhan saja. Toh jika terus dikeluh juga tak akan ada penghargaan untuk itu, maka adaptasikan.

 

Saat aku menulis ini, aku masih belum menjadi dewa di bidang beradaptasi. Aku masih sama, masih kesulitan untuk itu. Tapi, setidaknya aku mulai melakukan usaha untuk berhasil melakukan adaptasi, tak seperti di awal. Sungguh ku ketus tak mau mengubah kebiasaan, tak mau mengikuti perubahan.

 

“Okay, aku tahu adaptasi memanglah sulit, tapi percayalah beberapa orang sungguh-sungguh kesulitan untuk ini.”

 

“Teramat kaku” begitu gelar yang dinobatkan untukku.

 

“Ya, daripada tak punya penobatan apapun, untuk itu aku terima saja, toh pemikiran orang bukan kuasaku”

 

Saat diajak beradaptasi aku memiliki ratusan alasan untuk berakhir dalam kesulitan. Banyak hal yang harus direlakan untuk akhirnya dapat mencapai fase berhasil, bukan cuma sekedar merubah kebiasaan, tak jarang harus melenturkan idealisme, karena dunia ini berkomposisi fleksibilitas tanpa batas dengan persentase besar.

 

Dan sekarang, beradaptasi seakan menjadi nilai tukar, jika saat membeli barang kita menukarnya dengan uang, maka untuk kebahagiaanku kali ini aku harus menukarnya dengan adaptasi.

 

Karena jika tetap kaku dan bersikukuh dengan semua idealisme tanpa memberikan ruang untuk adaptasi memperlihatkan kuasanya, maka aku tak akan kemana-mana.

 

Akan tetap diam disini, tak berkembang, tak berpindah, dan tak mampu untuk bertahan.

 


 

 

baca juga : surat perkenalan senandika

baca juga : senandika sesi pertama 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.